Tiga politisi senior dari tiga fraksi pendukung Pemerintah di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kompak menolak wacana menaikkan tarif BBM subsidi jenis Pertalite dan Solar. Sikap penolakan tersebut disampaikan politisi PDIP Rieke Diah Pitaloka, politisi Partai Golkar Misbakhun dan politisi PKB Fathan Subchi. Sikap menolak wacana kenaikan harga BBM subsidi juga disampaikan politisi senior PKS Anis Byarwati.
Secara umum, mayoritas fraksi di DPR menolak kenaikan harga BBM dengan berbagai pertimbangan. Anggota Komisi VI DPR Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) Rieke Diah Pitaloka meminta pemerintah memperbaiki data penerima BBM bersubsidi yang terintegrasi dengan kementerian terkait. Sebab, penerima subsidi seharusnya adalah masyarakat yang benar benar tidak mampu.
Ia juga meminta kementerian terkait untuk membuka data siapa penerima subsidi BBM dengan jelas dan transparan. Dengan begitu tidak ada indikasi penyimpangan terhadap alokasi subsidi APBN untuk masyarakat. "Ketika data subsidi BBM belum secara jelas transparan, akurat dapat disampaikan, dan subsidi BBM nya dari APBN naik terus, kami menolak kenaikan harga BBM subsidi," kata Rieke.
Anggota Komisi XI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Byarwati meminta pemerintah mempertimbangkan kebijakan BBM bersubsidi yang hanya diprioritaskan untuk kalangan bawah saja. Misalnya, angkutan umum atau motor roda dua berkapasitas mesin kecil. Sementara Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) masih ragu mengambil sikap. Anggota Komisi XI Fraksi Golkar Mukhamad Misbakhun meminta pemerintah menghitung dampak kenaikan harga BBM bersubsidi.
Hitungan ini tak hanya dampak terhadap perekonomian, tetapi juga dampak terhadap situasi ketertiban dan keamanan. Meski begitu, Misbakhun juga tak serta merta mendukung pemerintah menaikkan harga BBM tapi pilih menambah anggaran subsidi dengan menambah kuota BBM bersubsidi akan habis. Ia meminta pemerintah mempertimbangkan kembali apakah keputusan tersebut akan berdampak signifikan untuk mendorong ekonomi.
Wakil Ketua Komisi XI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Fathan Subchi menyatakan tegas mendukung kenaikan harga BBM bersubsidi. Syaratnya, ada pengendalian konsumsi BBM. Misalnya, melalui peningkatan layanan transportasi publik. Fathan juga meminta pemerintah memastikan subsidi tepat sasaran, dan bisa dinikmati oleh masyarakat miskin. Selain itu, pemerintah harus meningkatkan dan mengembangkan BBM nonfosil, hingga impor minyak dari Rusia. "Harga minyak mentah Rusia sekitar 30 persen (lebih murah) dari pasar global," tandasnya.
Anggaran bengkak Berdasarkan pemaparan Menteri Keuangan Sri Mulyani di hadapan Komite IV DPD, anggaran subsidi energi dan kompensasi yang sebesar Rp 502 triliun, memperhitungkan asumsi Indonesian Crude Price (ICP) US$ 100 per barel, nilai tukar Rp 14.450 per dollar Amerika Serikat (AS), maka harga keekonomian BBM jenis Pertalite Rp 14.450 per liter. Dengan harga jual Pertalite yang saat ini masih Rp 7.650 per liter, maka pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 6.800 per liter.
"Pemerintah nombok Rp 6.800 per liter ke PT Pertamina. Itu yang di sebut subsidi dan kompensasi," katanya. Sebelumnya Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati mengatakan berdasarkan hitungan Pertamina harga keekonomian Pertalite lebih tinggi ketimbang hitungan Menteri Keuangan yakni sebesar Rp 17.500 per liter, meskipun tidak memperincinya. Sri Mulyani menyebut, pemerintah harus menambah subsidi Rp 198 triliun jika harga BBM tidak naik tahun ini. Alhasil total anggaran subsidi BBM tahun ini bisa tembus Rp 700 triliun.
Angka ini bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan anggaran pendidikan yang sebesar Rp 574,9 triliun. Dampak lanjutan dari kebijakan jika pemerintah menambah subsidi BBM menjadi Rp 700 triliun pemerintah harus memperbesar anggaran pendidikan. Sebab, sesuai mandat Undang Undang, pemerintah wajib mengalokasikan anggaran pendidikan 20% dari anggaran belanja negara yang ada di APBN.
Sumber: